Perkembangan
stilistika di Barat dimulai pada zaman
Aristotels (384-322 SM), dilanjutkan pada zaman Romawi (300-204 SM), Abad
Pertengahan (V-XV), dan era Renaissancew (XV-XVIII). Ketiga zaman ini
dikelompokkan penulis pada zaman klasik yaitu zaman pra De Saussures, yaitu
zaman stilistika masih belum memiliki aliran modern.
1. Asal Mula Stilistika dizaman Klasik (pra De Sussures)
Sejarah
Stilistika di barat mulai dari zaman yunani kuno yang dikenal 3 konsep utama
yaitu Rhetorik, Poetic dan Dialektic. Karya yang diteliti saat
itu adalah karya Aristotels (384-322) SM yaitu Poetics. Perkembangan
Stilistika di zaman Yunani dimulai dengan uraian cara-cara
membuat pidato dan diakhiri dengan diskusi mengenai Style (gaya bahasa)
Masa selanjutnya yaitu
perkembangan Stilistika pada masa Romawi (300-204 SM). Perkembangan Stilistika
di mulai dengan (Eluctio/ lexis atau style: pengungkapan atau
penyajian gagasan dalam bahasa yang sesuai . Eluctio banyak didapatkan dalam
buku-buku pegangan rhetorica.
Pada masa ini Caesar dan Cicaro sastrawan Romawi menemukan 2 style yang berbeda
sebagai perkembangan awal Stilistika.
Pada awal abad pertengahan retorika,
tata bahasa
dan logika membentuk satu trivium (tiga serangkai). Mula- mula retorika memegang peranan yang
jauh lebih penting, tetapi 700 th berikutnya tata bahasa dan logika jauh lebih
penting. Pada
abad pertengahan ini 2 konsep utama yaitu konsep bentuk (form) dan
konsep isi (content) pada masa romantism.
Perkembangan
selanjutnya yaitu Stilistika pada zaman renaissance ditandai pula dengan kelahiran retorika humanis. Sastra
humaniora, yaitu sajak-sajak klasik, filsuf, ahli sejarah, ahli pidato yang
berbicara mengenai hidup dan nilai kemanusiaan, dipelajari dengan semangat tak
terbatas, karena orang-orang sudah
merasa lelah dengan skolastisisme dan teologi yang
sudah merosot. Style
pada saat itu hanya dilekatkan pada bahasa tertulis dengan istilah Stylos.
Abad-abad selanjutnya style mengalami perkembangan. Istilah Style atau Stylos
mulai berubah menjadi Stylistic atau Stilistka yang dipengaruhi
Ferdinand de saussure, Charles, Bally hingga Jacobson dan para tokoh-tokoh ini
masih terpaku pada bahasa tulisan.
Pemikiran
sebeleum De Saussure yaitu bahasa merupakan produk
masyarakat. Individu hanya mewarisi bahasa dari masyarakat sehingga peran
individu terhadap perkembangan bahasa sangat minim. Bahasa, kaidah-kaidah dan
sastranya, adalah karya generasi lalu, sedangkan individu hanyalah
mengungkapkan pola-pola lama. De Saussure berpendapat bahwa individu memiliki
peran palimg besar dalam menciptakan bahasanya yang
khas. Menurutnya, bahasa bukan hanya merupakan pola-pola kolektif yang lama,
melainkan juga dalam ukuran tertentu merupakan pencampuran dengan spirit individu.
2. Perkembangan Stilistika Pada Masa Tokoh Aliran Modern.
Teori
Stilistika pada perkembangan selanjutnya fokusnya pada language dan parola
menurut De Saussure. Sedangkan Jacobson memandang Stilistika menjadi 4 elemen
yaitu addres, context code, contac message, addresseez. Dan tahapan demi
tahapan Stilistika tidak lagi mengkaji nilai pesan (estetika) tapi juga kepada
penyimpangan makna kata (deviasi). Deviasi sendiri dapat disebabkan oleh
banyak faktor mulai dari faktor manusiannya (penulisnya), budaya dan lingkungan
tempat ia berada.
Teeuw
mengatakan Stilistika mengkaji retorika,
tapi pada prinsipnya selalu memperhatikan bahasa yang khas dan istimewa. Juga
ciri khas penutur kepada pendengar, penulis kepada pembaca. Pemahaman mengenai
cakupan istilah Stilistika (Stilistika Verbal) dianggap sebagian besar dapat
diterapkan pada karya ragam puisi (paling banyak bermain pada diksi dan tata
bahasa).
Pada abad ke-19 dan ke-20 kritik sastra mengalami pemisahan antara kritikus.. Beberapa kritikus menganggap sastra yaitu hubungan sastrawan dengan karyanya. Mereka menganggap karya sastra adalah pengekspresian objek atau keseluruhan kehidupannya. Dengan
pemikiran ini muncullah biografi sastrawan. Dan pandangan kritikus lainnya yaitu sastra dari aspek kejiwaan sasatrawannya. Dari
perspektif ini muncullah psikologi sastra. Kritikus lainnya memandang sastra dari
kaitannya dengan msyarakat dan
muncullah sosiologi sastra. Juga macam-macam pandangan kritikus sastra lainnya, seperti nasionalisme, politik, teologi, filsafat dan lain-lain.
Kecenderungan
kritikus terhadap penilaian di luar sastra tersebut berakibat pada kurangnya
perhatian terhadapa sastra itu sendiri. Fenomena ini mendorong
para kritikus sastra lainnya untuk
merujuk kembali ke kritik sastra yang berfokus pada aspek bahasa sastra itu sendiri guna menilai suatu sastra.
Analisis yang berfokus pada
bahasa karya sastra di dunia Eropa dikenal dengan kritik sastra, analisis
strutural dan Stilitika.
Revolusi oleh Charles Bally (1865-1947) yaitu terhadap paradigma analisis
sastra klasik dengan teori Stilistika deskriptif ekspresifnya. Ia adalah murid
ferdinand de Saussure (1857-1913). De Saussures dikenal sebagai peletak
linguistik modern, sedangkan Bally dikenal sebagai peletak stilistika modern.
Ferdinand De Saussure (1857-1913)
membagi bahasa menjadi dua: languge dan parole. Bagian pertama berfokus pada
kaidah-kaidah dasar kebahasaan, sedangkan yang bagian selanjutnya fokus pada
bagaimana bahasa itu dalam penggunaanya.
Dalam analisis stilistika `Parole dibagi
dua bagian : tuturan biasa dan tuturan sastra atau seni. Tuturan biasa bersifat
spontan, rasional. Jenis ini menggunakan bahasa sesuai dengan kapasitas makna yang
terkandung dalam kamus. Sedangkan Tuturan Sastra bersumber dari penutur yang mengarahkan tuturannya pada indera perasaan
pendengaranya atau pembacanya.
Yaitu menggunakan instrumen dan makna pilihan yang memerlukan pemahaman secara tidak langsung.
Tuturan biasa bertujuan
menyampaikan isi
pesan dengan gambaran yang jelas, berbeda dengan tuturan sastra yang bertujuan mempengaruhi
penutur dengan kata-kata indah.
Terdapat
dua aliran dalam Stilistika Deskriptif. Dalam hal-hal yang
bersifat rinci, keduanya banyak perbedaan. Aliran pertama dinamai structural deskriptif. Dalam aliran ini karya dipandang sebagai tuturan atau karya sastra sebagai
kesatuan dari unsur-unsurnya yang saling berhubungan tanpa bisa dipisah-pisahkan. Jika ada unsur yang rusak,
rusaklah stuktur karya sastra secara keseluruhan. Kesatuan unsur-unsur ini
bukan terjadi secara kebetulan, tetapi didasarkan pada analisis dan aturan-aturan.
Yang kedua
adalah aliran formalisme. Muncul di Rusia pada tahun 1917,
aliran ini dipelopori oleh Roman Jacobson. Diantara pendapatnya, bahwa studi
sastra adalah analisis terhadap faktor-faktor yang menjadikan karya ini mempunyai
nilai sastra. Dengan kata lain,
mereka memfokuskan pada tuturannya saja dan mengabaikan aspek- aspek lain seperti aspek psikologi dan sosial kemasyarakatan.
Dengan
begitu, perbedaan diantara kedua aliran ini adalah bahwa structural deskriptif memperluas
analisisnya, disamping tuturan ke aspek sosial, filsafat, psikologi, sejarah
dan lainnya yang mempengaruhi dan mewarnai karya sastra. Di lain pihak, aliran
formalisme menjauhi aspek-aspek tersebut dan memfokuskan hanya pada tuturan
yang sudah menjadi karya sastra.
Berdasarkan atas pemikiran De Saussure,
Charles Bally mengembangkan pemikiran stilistika ekspresif. Menurutnya,
nilai-nilai stilistika tidak bisa ditampung dalam “nilai-nilai statis”.
Pendapat ini bersebrangan dengan pendapat para ahli sastra sebelumnya ( pra De
Saussure ), yang mengatakan bahwa nilai-nilai stilistika terletak pada kerangka
nuansa atau rasa bahasa, yang menurut mereka berpusat pada soal metapora.
Menurut Bally, nilai-nilai stilistika lebih dari itu. Kadang ungkapan- ungkapan
sederhana pun terdapat nilai-nilai keindahan. Dengan kata lain, ungkapan-
ungkapan seperti itu termasuk kedalam kerangka nuansa atau rasa bahasa. Dengan demikian, ranah
analisis stilistika semakin meluas karena termasuk juga bahasa tuturan yang
tidak bisa lepas dari konteks2.
Berdasarkan penjelasan diatas, stilistika deskriptifnya
Charles Bally merangkum dalam tiga prinsip berikut ini :
- Ranah
analisis stilistika deskriptif tidak terbatas pada kaidah-kaidah sastra tradisional saja.
- Bahasa tuturan dimasukan
kedalam ranah analisis stilistika.
- Stilistika menggunakan
metode deskriptif.
Konsep ini merupakan salah satu fragmen stilistika di dunia
barat dari sekian banyak fragmen yang ada.
B. Sejarah Perkembangan Stilistika di Indonesia
Di Indonesia, stilistika juga mengalami
sejarah dan perkembangan. Pada tahun 1956, Slamet Mulyana menerbitkan buku
Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Budaya, penerbit Ganaco, Bandung. Buku ini
berisi sekalar pemandangan tentang Poesi juga biasa disebut Puitika. Pandangan
Puitika tidak terlepas dari persoalan poetika pada hakikatnya adalah persoalan
filsafat.
Dengan demikian, peristiwa sastra dihubungkan dengan peristiwa Bahasa
Indonesia. Hal ini ada hubungannya dengan pengajaran bahasa. Kekurangan
penyelidikan bahasa dan sastra Indonesia terasa sekali oleh pengajar di
sekolah, yaitu sifat pembelajaran tidak lagi merupakan perluasan, tetapi
pendalaman. Bahasa Indonesia merupakan salah satu fenomena yang berhubungan adat dengan manusia Indonesia. Slamat
Mulyana mendefinisikan stilistika adalah pengetahuan tentang kata yang berjiwa.
Istilah stilistika kemudian dikembangkan
oleh Jassin. Ia menguraikan bahwa ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa
disebut stilistika atau ilmu gaya bahasa atau biasa disebut Stijl dalam
bahasa Belanda, Style dalam bahasa Ingggris dan Perancis, Stil dalam bahasa
Jerman.
Jassin selanjutnya mengemukakan bahwa kata gaya bahasa bermakna cara
menggunakan bahasa. Di dalamnya tercakup gaya bercerita. Biasanya
seseorang yang ingin berbicara menggunakan stil pengarang yang digunakan bukan hanya gaya bahasanya, melainkan
juga gayany bercerita. Seorang stilistikus atau ahli gaya bahasa menjawab pertanyaan mengapa seorang pembicara
atau pengarang menyatakan pikiran dan perasaan seperti yang dilakukan dan tidak dalam
bentuk lain, atau bagaimana keharmonisan gabungan isi dan bentuk.
Pada 1982, Sudjiman membuat Diktat Mata
Kuliah Stilistika, Program S1. Universitas Indonesia. Kemudian Ia menerbitkan
buku Bunga Rampai Stilistika. Grafiti, Jakarta 1993. Istilah stilistika sejak
1980-an ini mulai dikenal di dunia PerguruanTinggi sebab telah menjadi satu disiplin ilmu. ibahkan ada yang menggunakan beberapa pendekatan sekaligus.
Semua itu ada hukum untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang alasan
pengarang menciptakan karya tertulis, gagasan yang hendak disampaikan ataupun hal-hal yang mempengaruhi cara penyampaiannya semua itu dilakukan untuk merebut makna
yang terkandung dalam karya sastra serta menikmati keindahannya.
Karena media yang digunakan oleh
pengarang adalah bahasa, pengantar bahasa pasti akan mengungkapkan hal-hal yang
membantu kita menafsirkan makna suatu karya sastra atau bagian-bagiannya untuk
selanjutnya memahami dan menikmatinya. Pengkajian ini disebut pengkajian stilistika.
Dalam pengkajian ini tampak relevansi ilmu bahasa terhadap studi sastra. Dengan
stilistika, dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang
sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra.
Pada tahun 1986, Natawidjaja menerbitkan
buku Apresiasi Stilistika, Intermasa, Yogyakarta. Dalam buku ini diuraikan
penggunaan bahasa suatu karya sastra melalui aspek bahasa, misalnya peribahasa,
ungkapan, dan gaya bahasa dalam karya sastra. Buku ini sangat bermanfaat bagi siswa SMA dan mahasiswa yang ingin meningkatkan pemahaman mengenai stilistika
bahasa Indonesia. Di Universitas Gadjah Mada, penelitian skripsi sarjana juga membahas masalah
stilistika.
Hal ini sudah dilaksanakan sejak 1958 sampai dengan
sekarang ini, misalnya
Budi S telah membuat skripsi
tentang ”Bahasa Danarto dalam Godlob: Kajian Stilistika Cerpen- cerpen
Danarto”, 1990. Ia memberi penekanan analisis terhadap kosakata, majas (bahasa
kiasan), sarana retorika, struktur sintesis,
interaksi bahasa dan humor dari mantra (Puleh, 1994:X). Pada 1993, Lukman Hakim
membahas stilistika judul makalahnya ”Tinjauan Stilistika terhadap Robohnya
Surau Kami”, (AA. Navis). Ia membahas cerita pendek ini dari sisi gaya
bahasa/stil, pengarangnya terutama yang berhubungan dengan (1) struktur
kalimat yang dihubungkan dengan gaya bercerita; dan (2) pemilihan leksikal yang dikaitkan dengan pemakaian majas (Depdikbud,
1993:28- 38, Bahasa dan Sastra, X.4).
Pada 1995, Aminuddin menerbitkan bukunya
Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra, IKIP Semarang Press,
Semarang. Kajian stilistika dalam buku ini terdiri dari enam bab. Bab 1
mengenai Pengertian Gaya dalam Perspektif Kesejarahan; Bab 2 mengenai Studi
Stilistika dalam Konteks Kajian Sastra; Bab 3 Bentuk Ekspresi sebagai Pangkal
Kajian Stilistika; Bab 4 Aspek Bunyi dalam Teks Sastra; Bab 5 Bentuk Simbolik
dalam Karya Sastra; dan Bab 6 Bentuk Bahasa Kias dalam Karya Sastra. Pada 2003,
Tirto Suwondo membahas cerpen dengan pandangan stilistika, judul makalahnya
”Cerpen Dinding Waktu, karya Danarto, Studi Stilistika” dimuat dalam
bukunya Studi Sastra
Beberapa Alternatif, Hanindita, Yogyakarta, 2003.
Suwondo berkesimpulan bahwa cerpen dinding waktu karya Danarto kaya akan gaya
bahasa, baik gaya bahasa berdasarkan struktur kata dan kalimat maupun
berdasarkan langsung atau tidaknya makna. Dengan demikian, hingga saat sekarang
ini, stilistika sudah berkembang dengan pesat.
Perkembangan stilistika di Indonesia
sangat lambat bahkan hampir tidak mengalami kemajuan. Penelitian tentang
stilistika pada umumnya terbatas sebagai sub
bagian dalam sebuah buku teks atau dalam skripsi dan tesis. Kualitas penelitian pun terbatas sebagai
semata-mata deskripsi pemakaian bahasa yang khas, sebagai gaya bahasa. Oleh karena itu sampai saat ini belum
ada buku yang secara khusus
membahas stilistika.
Sebagai contoh untuk menelusuri sejarah
perkembangan stilistika di Indonesia, maka dicoba menelusuri buku-buku yang
dapat diimplikasikan baik terhadap gaya bahasa maupun stilistika itu sendiri.
Buku pertama berkaitan
dengan gaya bahasa ditulis oleh Slametmuljana. Meskipun tidak secara eksplisit
menyebutkan gaya bahasa dan stilistika, tetapi dikaitkan dengan judulnya
Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra (1956)
dapatlah disebutkan bahwa buku tersebut mengawali
studi stilistika di Indonesia. Sebagian
besar pembicaraan yang dilakukan berkaitan dengan Bahasa Sastra,
khususnya puisi (yang disebut kata „berjiwa‟), bahasa kontekstual, yang di
bedakan dengan bahasa kamus (bahasa
dengan arti tetap), sebagai bahasa bebas konteks. Menurut Slametmuljana,
perkembangan mengenai kata-kata berjiwa inilah yang disebut sebagai stilistika.
Bahasa adalah alat untuk mewujudkan pengalaman jiwa yaitu cita dan rasa ke
dalam rangkaian bentuk kata yang tepat dan dengan sendirinya sesuai tujuan pengarang.
Teeuw dalam bukunya yang berjudul
Tergantung pada Kata (1980) menganalisis sepuluh puisi dari sepuluh penyair
terkenal, sehingga dapat mewakili ciri-ciri pemakaian bahasa pada masing-masing puisi sekaligus mewakili
kekhasan personalitas
pengarangnya. Menurut Teeuw, melalui karya-karya Chairil Anwarlah terjadi revolusi total dalam bahasa, dengan cara
mendekonstruksi sistem sastra lama yang didiominasi oleh berbagai ikatan,
sehingga menjadi baru sama sekali.
Panuti Sudjiman dalam bukunya yang
berjudul Bunga Rampai Stilistika (1993), secara jelas telah menyinggung makna
stilistika itu sendiri, yaitu mengkaji ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana
sastra. Dengan singkat stilistika mengkaji fungsi puitika suatu bahasa. Sesuai
dengan judulnya, sebagai bunga rampai pembicaraan stilistika dibicarakan dalam
empat bab dari keseluruhan buku yang terdiri atas delapan bab. Menurut Sudjiman, stilistika menjembatani analisis
bahasa dan sastra.
Pembicaraan ini hanya mengemukakan
pembicaraan gaya bahasa dan stilistika dalam
bentuk buku yang sudah diterbitkan dengan maksud untuk mengetahui seberapa jauh stilistika menjadi pusat
perhatian bagi kritikus sastra Indonesia, sekaligus menunjukkan masih lemahnya
industri penerbitan di Indonesia.
C. Kesimpulan
Sebelum mengalami perkembangan dan
perluasan seperti pada masa kini, stilistika sebagai sebuah bagian dari
linguitik telah disepakati memiliki kaitan yang sangat erat dengan sastra.
Sudjiman (1993: 3) menyebut bahwa esungguhnya sumbangan linguitik dalam kritik
sastra ialah misalnya sorotan pada penggunaan bahasa dan gaya bahasa sebagai
unsur yang membangun karya sastra, penggunaan dialek dan register tertentu.
Pengetahuan linguistik, khususnya fonologi dan fonemik, sangat bermanfaat dalam
pengkajian puisi, yaitu dalam pautannya dengan metrik, penyusunan struktur
segmen bunyi dalam hubungannya dengan unit-unit bunyi pada bahasa tertentu,
atau derap dengan irama. Adapun pengetahuan linguistik yang termasuk di
dalamnya fonologi, dan fonemik, dan juga syntax, lexico-semantic, adalah
merupakan point utama dalam analisis stilistika sastra pada awal kemunculannya.
Hal ini tentu tidak lepas dari background tokoh-tokoh besar teori stilistika
yang merupakan para ahli kebahasaan seperti Jakobson (1896 – 1982), Halliday
(1925 – sekarang), dan Leech (1936 – sekarang).