Donasi buku kirim disini Contact Us Buy Now!
المشاركات

Narasi Kembali Terulang; Sejarah dan Memori Kolektif

 

Narasi Kembali Terulang; Sejarah dan Memori Kolektif
Oleh Sahid Munaji

 

Melalui tulisan ini, saya akan mengajak pembaca untuk sejenak mengintip identitas bangsa kita lewat kilas balik sejarah dan sastra. 

Sejarah tidak selalu tumbuh melalui tangan para penguasa, justru kerap kali sejarah tumbuh melalui tangan mereka yang terluka; penyair, penulis, dan pengarang yang mencoba merangkai kata demi kata untuk mengingat, menggugat, atau sekedar bertahan. 

Kata “sastra” lebih dari sekedar rangkaian kata-kata yang disusun dengan apik. Sastra lebih dari sekedar motivasi petualangan yang menggugah atau nasihat-nasihat bijak dari penulis. Sastra adalah suara yang lirih—kadang lantang yang merekam perasaan, memori, dan pergulatan pada zamannya.

Saat ini kita mungkin merasa biasa-biasa saja—bangun pagi, berangkat kerja, pulang sore hari, akhir pekan dihabiskan bersama keluarga, kerabat, atau teman dekat. Namun di banyak karya sastra, kita tanpa sadar sedang menyusuri lorong-lorong sejarah yang nyaris terlupakan. Nama Mei dalam puisi Joko Pinurbo atau Affan dalam puisi esai Denny JA bukan sekadar tokoh, tetapi simpul memori yang membuka ruang renung—tentang siapa kita sebagai bangsa, dan ingatan apa yang sebenarnya sedang diwariskan.

Melalui tulisan ini kita akan menyusuri kembali sejarah; tentang bagaimana sastra menjadi medan pertarungan antara ingatan dan pelupaan. Melalui tulisan ini, kita akan membaca sastra tidak hanya sebagai karya seni, tetapi sebagai bagian tubuh sosial yang diwariskan, sebagai ruang perlawanan, penyembuhan, juga harapan. 

 

Puisi: Mei 

Tubuhmu yang cantik, Mei

telah kaupersembahkan kepada api.

Kau pamit mandi sore itu.

Kau mandi api.

 

Api sangat mencintaimu, Mei.

Api mengecup tubuhmu

sampai lekuk-lekuk tersembunyi.

Api sangat mencintai tubuhmu

sampai dilumatnya yang cuma warna,

yang cuma kulit, yang cuma ilusi.

 

Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei

adalah juga tubuh kami.

Api ingin membersihkan tubuh maya

dan tubuh dusta kami

dengan membakar habis

tubuhmu yang cantik, Mei.

 

Kau sudah selesai mandi, Mei.

Kau sudah mandi api.

Api telah mengungkapkan rahasia cintanya

ketika tubuhmu hancur dan lebur

dengan tubuh bumi;

ketika tak ada lagi yang mempertanyakan

nama dan warna kulitmu, Mei.

 

Joko Pinurbo, 2000.

 

Mari sejenak merenungkan narasi di atas. Narasi di atas merupakan puisi berjudul “Mei” karya Joko Pinurbo yang ditulis dua tahun setelah tragedi runtuhnya rezim 0rde Baru—periode penuh luka sekaligus titik balik dari sebuah perubahan besar (tragedi 1998).

Tragedi Mei 1998 dilukiskan secara simbolik lewat puisi di atas. Joko Pinurbo, melalui imajinasi kreatifnya mengungkapkan realitas objektif kedalam realitas puistis agar lebih menyentuh nurani pembaca. 

Setelah membaca narasi di atas kita mengetahui bahwa Mei seolah-olah tidak takut terbakar oleh api, bahkan terkesan seperti mempersembahkan diri oleh karena cinta. Apakah cinta oleh karena ketakutan? atau keputusaan yang memaksa untuk menderita—mati hingga terlupakan atau bahkan dilupakan oleh rezim. 

Terdapat sebuah idiom menarik, tubuh maya dan tubuh dusta yang menurut saya mengungkap kesadaran akan ilusi dan kebohongan yang diciptakan oleh rezim. Saya mereprentasikan api di sini sebagai rezim yang berkuasa, seseorang yang memiliki otoritas mutlak pada era Orde Baru, yang pada akhirnya terbakar oleh nyala api yang dikobarkan sendiri.  

Jika kita memahami lebih jauh, kata Mei sendiri dapat dimaknai dalam beberapa lapisan tafsir. Pertama, Mei adalah personifikasi bulan terjadinya tragedi dalam artian Mei adalah orang-orang yang gugur pada tragedi tersebut. Kedua, Mei adalah personifikasi nama yang erat kaitannya dengan etnis Tionghoa dalam artian Mei adalah orang-orang keturunan Tionghoa yang menjadi korban rasisme. 

Tragedi Mei 1998 bukan hanya kisah tunggal melainkan komunal, di sisi ricuhnya demontrasi sebagai upaya untuk melengserkan Suharto secara bersamaan terjadi rasisme terhadap etnis Tionghoa yang dipicu oleh ketegangan sosial dan krisis moneter 1997.

 

Puisi: Hari Itu Affan Kurniawan Tak Lagi Pulang Ke Rumah

Affan bukan aktivis.

Ia hanya pengantar makanan—

anak yang ingin menebus obat ibunya,

membayar sekolah adiknya,

menambal lubang hidup

yang selalu bocor di tiap sudut.

 

Namun sejarah menjemputnya hari itu.

Aksi protes lahir dari perut rakyat yang lapar.

Harga kebutuhan pokok melambung,

sementara pekerjaan menjauh seperti bayangan.

 

Mahasiswa dan buruh turun ke jalan.

Suara mereka sederhana:

agar negeri ini adil,

agar pesta di gedung parlemen

tidak disulut dari lapar di rumah-rumah sempit.

 

Jakarta mendidih siang itu.

Gas air mata meledak, sirene meraung.

Orang-orang berlari.

 

Di pusaran ricuh itu,

seorang anak muda bernama Affan Kurniawan,

yang hanya sedang mencari nafkah,

ditelan arus sejarah yang tak pernah ia pilih.

 

Hidupnya direnggut

secepat api melahap kertas kering.

 

Denny J.A (2025)

 

Narasi itu kembali terulang, kali ini lewat untaian kata dari Denny J.A. dalam puisi esainya. Denny mengangkat kisah tragis tentang Affan, seorang pengemudi ojek online atau kerap disebut ojol yang menjadi korban pembunuhan. Peristiwa itu digambarkan secara lugas dan menyentuh.

Tragedi kembali terulang—Agustus 2025 kembali menorehkan sejarah kelam. Kali ini kericuhan disebabkan oleh ketidak puasan rakyat terhadap anggota MPR dan DPRD yang dikabarkan mendapatkan gaji dan tunjangan yang tidak masuk akal. Lewat puisinya, Denny menggambarkan suasana kericuhan. Jakarta mendadak menjadi kelam, matahari seakan tertutup oleh tirai hitam. Mahasiswa dan buruh turun ke jalan untuk menyuarakan suara rakyat. 

Namun yang menjadi perhatian adalah Affan. Seorang ojol yang sedang mengantarkan makanan. Mati—ditelan sejarah. Affan ditabrak oleh mobil brimob yang sedang berpatroli menertibkan kerucuhan, tanpa ampun. Terlepas dari kerucuhan yang sedang terjadi, Affan hanya seorang pemuda yang sedang berjuang mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Begitu kira-kira yang diungkan oleh Denny melalui puisinya.

Belajar dari dua puisi di atas, kita melihat bahwa sastra bukan sekadar rangkaian kata indah, kisah petualangan yang memotivasi, atau nasihat bijak dari penulis. Sastra juga merupakan alat untuk memperkuat identitas budaya, menyampaikan nilai-nilai melalui narasi, dan menjadi ruang perenungan lintas generasi. Lebih dari itu, sastra berfungsi sebagai catatan sejarah: mendokumentasikan peristiwa, merekam pengalaman manusia, dan menyuarakan kritik sosial. Dalam keheningannya, sastra melestarikan suara-suara yang tak terdengar—memori kolektif yang sering kali luput dari catatan resmi. Dan di sanalah kekuatan sejatinya terletak.


إرسال تعليق

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.